Sepenggal kalimat singkat yang masih tergiang di telingaku, saat sosok ibu yang sehari-hari bekerja keras membanting tulang mengongkosi sekolahku. Betapa besar pengorbanan ibu disaat terik matahari yang menyengat namun tetap berusaha memenuhi seluruh kebutuhan sekolahku layaknya orang-orang berada. Ditemani sosok Ayah yang kadang lupa waktu dan lupa makan yang terus bekerja sebagai petani untuk menafkahi keluarga. Malam bukanlah penghalang ketika setiap hari aku menunggu mereka pulang ditangga depan rumahku. Siulan ayah dan nyanyian kecil ibu, membuatku tidak lupa bahwa pasti ada sesuatu yang dibawa pulang. Seperti biasa langsung kubuka tas tua milik ibu yang menjadi senjatanya disaat membawakan sesuatu buat aku.
Belum genap satu tahun aku belajar dan berupaya mandiri di salah satu universitas di Manado, namun kejadian memiluhkan itu harus kualami. Disaat aku benar-benar membutuhkan sosok seorang ibu sebagai penasehat dan pelindungku, tapi dia sudah lebih dulu meninggalkanku.
Jam menunjukkan pukul 12.00 wita siang itu. Tidak ada perasaan aneh yang menghantuiku, hanya nyanyian-nyanyian gereja yang kukumandangkan membelah hiruk pikuk aktifitas manusia. Sebagai mahasiswa junior aku diwajibkan untuk berlatih lagu gereja dalam komunitas pelayanan mahasiswa Kristen dikampusku. Dan itu dilakukan setiap hari Sabtu, aku dan gerombolan teman-temanku selalu mengikuti pelatihan itu sebagai modal menguatkan kepribadian sehingga tidak terpengaruh dengan kebesaran dunia.
Sabtu kali ini lain dari biasanya, selesai melakukan latihan, aku balik ke tempat kosku dan bermaksud untuk pulang kampung (ingat waktu itu, amunisi sebagai anak kospun da habis) aku ayunkan langkah kakiku ke tempat kos yang kira-kira berjarak 1 kilo dari tempatku berlatih. Dari perkataan tetanggaku bahwa sekitar 2 jam yang baru lalu, ada beberapa orang tua yang datang mencariku dan berpesan agar aku segera pulang rumah ke rumah. Mendadak pikiranku bergejolak, namun karena teringat bahwa hari ini merupakan peringatan meninggalnya ibu dari ibuku (oma) dikampung jadi pemikiran lainnya masih dapat diabaikan. Sedikitpun tidak pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya orang yang begitu berharga dihidupku, sudah berlalu dan meninggalkan semua kenangan indah yang tidak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Perjalanan jauhpun ku lakukan,pulang kampong dengan kebanggaan sebagai seorang mahasiswa gundul. Dalam perjalanan pulang aku menggunakan bus hingga ke ujung kampong dan diharuskan berjalan kaki sekitar ratusan meter menuju rumahku. Dalam perjalanan sudah sempat kudengan bisikan orang yang mengatakan bahwa ibuku sudah pergi untuk selamanya, namun aku tidak percaya, karena aku tau ibu yang sudah membuat kedua kakakku merai gelar sarjana pasti baik-baik saja. Dalam pikiranku, oma yang sudah pergi.
“…jika kuingat, pada saat aku bersemangat melantunkan tembang pujian, saat itu pulah ibuku sementara bertarung dalam hidupnya..”
Mencoba untuk kuat, tapi setiap langkahku sudah disertai dengan tangisan teriakan orang-orang yang melihatku, walaupun waktu itu jarak menuju rumahku masih jauh. Perasaanku kian bergejolak ketika memasuki rumah sederhana yang ditempati puluhan tahun bersama ibu dan ayahku, langsung disambut dengan pelukan kedua kakakku dengan bisikan “aku harus kuat”.
Ya Tuhan, ternyata benar, disaat banyak orang kampung menghadiri acara omaku sementara itu, sosok yang selama ini menjadi tumpuan harapanku sudah terkapar kaku di kamar keluarga. Sosok yang sudah mengajariku rasa berterimah kasih, rasa menghormati, rasa mencintai dan rasa memiliki yang begitu dalam kini sudah pergi meninggalkan perjuangan anaknya yang masih sepenggal. Ibu, oh Ibu, begitu cepat engkau membiarkan aku bertarung dalam dunia yang tidak berperasaan. Aku da berusaha untuk menguatkan diri, tapi ternyata kehilangan ibu adalah pergumulan terberat dalam hidup. Betapa aku sadar, bahwa setiap subuh kamu terbangun dari tidurmu sementara aku masih terlelap, engkau sudah membisikan doa kepada yang Maha Kuasa, agar anakmu selalu dijaga dan dilindungi. Tak satu katapun yang bias kuucapkan selain maafkan akau ibu, karena engkau pergi tanpa melihat aku. Betapa besar cinta dan sayangmu kepada aku, karena ditengah pergumulan terberatmu, engkau masih bias mengatakan, untuk menitipkan aku kepada kedua kakakku yang hingga saat ini selalu berjuang membantu keberhasilanku.
“Aku tau ibu, bahwa kamu mencintaiku, tapi aku pun lebih tau bahwa Tuhan yang lebih mengasihimu. Terima kasih atas setiap perjuangan hidupmu buat aku, engkau selalu ada di hati anakmu, untuk selamanya…akan kuingat hari itu bahwa perbuatan Tuhan sementara merendah dalam hidup keluarga kita”…I love you mom…(just for my mom, ShEILA on SEVEN)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya, Semoga artikel di atas bisa bermanfaat.
Silakan komentar sesuai dengan artikel yang di sajikan!!!!
terima kasih.
andylaoe.blogspot.com